Selasa, 07 Februari 2017

Makalah: PERCERAIAN Boleh atau Tidak MENURUT ALKITAB?



PERCERAIAN Boleh atau Tidak MENURUT ALKITAB?
By: Jeffrit Kalprianus Ismail

Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:4-6).

A. PENDAHULUAN

Menurut berita media REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA menuliskan, “Angka perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen. Dirjen Badilag MA, Wahyu Widiana, mengatakan tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya. Data jumlah perceraian tahun 2011 belum bisa dipastikan sebab masih menunggu proses rekapitulasi dari 33 pengadilan tinggi agama se-Indonesia. Meski begitu, pihaknya tidak menyangkal terjadi kenaikan perceraian di atas 10 persen dibanding angka tahun 2010. “Perceraian naiknya terus-terusan, begitu juga pada 2011,” ujar Wahyu kepada Republika, Selasa (24/1). Pada tahun 2010, terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia. Penyebab pisahnya pasangan jika diurutkan tiga besar paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara. Sedangkan tahun sebelumnya, tingkat perceraian nasional masih di angka 216.286 perkara. Angka faktor penyebabnya terdiri atas ketidakharmonisan 72.274 perkara, tidak ada tanggungjawab 61.128 perkara, dan faktor ekonomi 43.309 perkara”. Data perceraian di atas membuat kita prihatin dan bertanya, mengapa begitu banyak pasangan suami-isteri yang mengakhiri hubungan mereka dengan perceraian? Bagaimana masalah perceraian ditinjau dari perspektif iman Kristen menurut Alkitab? Sebelum menjawab pokok masalah ini, sebaiknya memberi perhatian sejenak kepada pergertian istilah “bercerai dan zinah”.

B. PEMIKIRAN DASAR AKAN PERCERAIAN


Sebelum lebih jauh membahas perceraian dan pernikahan kembali menurut persepektif iman Kristen dan ajaran Alkitab, perlu diperhatikan tiga pemikiran mendasar mengenai perceraian sebagai berikut: 
Pertama, perceraian bukanlah ideal Tuhan. Jelaslah bahwa Tuhan tidak merancang perceraian. Apapun pandangan mengenai perceraian, adalah penting untuk mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi 2:16a: “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.” Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6). Yesus mengatakan bahwa Allah mengizinkan perceraian tetapi tidak memerintahkan (Matius 19:8). Perceraian itu diijinkan bukan diperintahkan, hal ini terjadi karena “sklerokardia” atau “kekerasan hati” manusia (Matius 19:8; Markus 10:5). Dosa membuat hati manusia menjadi keras. Kekerasan hati manusia mengakibatkan manusia sulit mengampuni, menganggap diri benar, meremehkan firman Tuhan, menutup diri terhadap koreksi, menolak untuk berubah, menyebabkan hubungan suami istri rusak, dan keluarga berantakan, bahkan perceraian. Jadi perceraian adalah konsensi ilahi bukan konstitusi ilahi; merupakan kelonggaran bukan norma atau standar Allah. Dengan kata lain, perceraian bukanlah yang ideal atau yang terbaik bagi pernikahan.
Kedua, perceraian tidak diperbolehkan karena setiap alasan. Kristus menegaskan bahwa perceraian dapat terjadi hanya karena satu alasan yaitu “zinah” (Matius 19:9). Frasa “kecuali karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan izin untuk perceraian. Satu alasan ini perlu ditegaskan karena orang farisi datang kepada Yesus dengan pertanyaan  “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” Frase Yunani “kata pasan aitian” sebuah frase yang lebih tepat bila diterjemahkan “untuk alasan apa saja” (Matius 19:3). Disini Kristus menegaskan bahwa seseorang tidak boleh bercerai berdasarkan alasan apa saja. 
Ketiga, perceraian mengakibatkan masalah-masalah. Apabila rancangan Tuhan diabaikan oleh manusia, pastilah timbul masalah-masalah. Bagi orang-orang tertentu perceraiansepertinya adalah penyelesaian masalah, tetapi bagi orang lainnya adalah adalah masalah. Karena akan ada pihak yang terluka, tertekan, tersakiti dan dirugikan. Pasangan yang bercerai, anak-anak, pihak keluarga, serta masyarakat yang lebih luas bisa jadi terkena dampaknya. Lagu “Butiran Debu” yang dinyanyikan Rumor nampaknya mengekspresikan dengan tepat kebahagiaan cinta yang dirusak oleh pengkhiataan dan betapa dalam luka yang diakibatkannya. Ada harga mahal yang dibayar bagi sebuah pilihan untuk bercerai karena perceraian mengakibatkan luka yang tidak mudah untuk disembuhkan. Dan mungkin, bila luka tersebut disembuhkan tetap akan menyisakan goresan bekas luka tersebut.

C. PENGERTIAN ISTILAH BERCERAI DAN ZINAH

Istilah “bercerai” dalam injil Matius 5:32, bahasa Yunaninya “apoluo” artinya: membebaskan, menyuruh pergi, menceraikan, atau membubarkan.
Sedangkan istilah “zinah” bahasa Yunaninya “porneia” dalam Matius 5:32; 19:8 artinya percabulan atau persundalan bagi yang belum menikah, dimana terdapat aksi seks secara badani. Ada istilah Yunani lainnya “moikeia” dalam Matius 15:19 artinya persinahan atau berbuat zinah.
Dalam perkembangannya, istilah “porneia” lebih komprehensif pengunaannya meliputi perbuatan zinah, percabulan atau persundalan yang tidak wajar dan tidak senonoh. Dalam penafsiranya istilah “porneia” menunjuk kepada moral seksual yang bejad, dan sudah dilakukan berulang kali dalam nafsu yang diumbar. Maksudnya, bercerai karena zinah hanya lebih ditujukan jika perilakunya sudah bejad moral seksualnya, sangat tidak setia lagi dalam perkawinan, dan sudah tidak ada kemauan untuk memperbaikinya, serta sudah tidak bisa lagi diarahkan atau dibimbing kearah perubahan menjadi pribadi yang baik, maka perceraian itu dapat terjadi.
Pengertian sederhana tentang perceraian adalah berakhirnya suatu ikatan pernikahan yang seharusnya seumur hidup komitmennya. Hal ini dapat terjadi pada saat pasangan sudah tidak ingin lagi melanjutkan kehidupan bersama sebagai suami-istri. Ini berarti adanya pemutusan komitmen, baik secara sepihak maupun secara persetujuan bersama. Biasanya pemutusan ini lebih banyak pada unsur pemaksaan. Perceraian ini tidak hanya menyangkut berakhirnya hubungan antara mereka berdua, tetapi juga menyangkut dimensi yang lebih luas, yaitu: anak-anak, harta benda.dan juga lembaga Gereja, pemerintah serta Allah. Mereka semua ikut terlibat didalammnya dan harus menanggung akibatnya. Artinya, perceraian akan melibatkan semua dimensi diatas secara terbuka didalam keterpisahan (perceraian) ini, yang pada akhirnya akan banyak menimbulkan konflik yang tak habis-habisnya, dan dapat menarik semua pihak ke dalam jurang kehancuran, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pemahaman perceraian biasanya dapat dilihat didalam dua perspektif, yaitu:
a. Cerai hidup, biasanya didasarkan pada adanya ketidakcocokan, baik yang menyangkut masalah perzinahan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ekonomi, pertengkaran, dan sebagainya – seribu satu macam alasan dapat digunakan sebagai dalih atau alasannya dan biasanya klasik – ya, itu-itu saja, tidak ada yang baru!
b. Cerai mati, biasanya didasarkan pada kenyataan bahwa salah satu pasangan, suami atau istri meninggal. Dalam ‘perceraian’ karena ditinggal mati oleh pasangan, ikatan hubungan suami istri berakhir pada saat salah satu pasangan meninggal sehingga tidak ada kewajiban apapun untuk tetap setia didalam ikatan dengan pasangan yang sudah meninggal. Kalau tetap setia, itu merupakan bukti kongret akan ikatan mulia yang didasarkan kasih yang murni, yang dibawa sampai mati dengan cara tidak menikah lagi.
Di dalam melihat dan memahami kasus perceraian, garis tegas yang umum digunakan didalam menilai penyebab perceraian, terutama adalah pada faktor manusia (human error) dan duniawi (secular). Faktor manusia, yaitu adanya keegoisan, ketidakpuasan dan pementingan diri sendiri. Sedangkan faktor duniawi, yaitu pada ketidaksetiaan (perzinahan), materialisme dan kenikmatan dunia. Kedua faktor dominan ini biasanya menjadi pencetus perceraian diluar kasus cerai mati yang ada diluar faktor manusia dan duniawi, tapi pada Allah.


D. KONSEP PERNIKAHAN & PERCERAIAN ZAMAN KLASIK

a.      Konsep Romawi
Konsep pernikahan zaman Romawi dianggap sebagai kewajiban etis, religius, dan patriotis, tetapi tidak diatur secara berkontrak menurut hukum. Pernikahan dianggap mulai dengan tinggalnya laki-laki dengan perempuan serumah. Kuasa atas istri (manus) secara formal diserahkan kepada suaminya (confarreatio).
Perceraian menurut hukum Romawi dan Helenis pada prinsipnya boleh dilakukan oleh kedua pihak (suami atau istri) bahkan oleh ayah istrinya. Perceraian dipandang sebagai hal pribadi, tidak terlalu memerlukan persetujuan dari lembaga hukum tertentu. Walau demikian surat cerai tetap dibuat dan cara perceraian sangat sederhana. Sesudah kehendak untuk bercerai dinyatakan, suami mengusir istrinya keluar dari rumahnya, atau istri sendiri memutuskan pergi dan meninggalkan suaminya.
b.      Konsep Yahudi
Konsep pernikahan menurut hukum dan tradisi Yahudi bervariasi, umumnya pernikahan Yahudi mencakup adanya ketubah (perjanjian pranikah) yang ditandatangani oleh dua orang saksi, penggunaan tudung nikah (khuppah), sebentuk cincin milik mempelai pria untuk diserahkan kepada mempelai wanita di bawah naungan tudung nikah, dan upacara pemecahan gelas.
Pernikahan Yahudi dibagi menjadi dua tahap: kidusyin (penyucian atau peresmian, disebut pula erusin, artinyapertunangan dalam bahasa Ibrani), dan nissu'in (pernikahan). Pada tahap pertama mempelai wanita dinyatakan terlarang bagi semua pria lain, dan dengan demikian mengakhiri masa berlaku surat cerai (Get) jika mempelai wanita memilikinya. Pada tahap berikutnya, kedua mempelai dibenarkan untuk mulai hidup bersama-sama. Upacara untuk tahap nissu'in dikenal sebagai khuppah.
Sekarang ini, erusin/kidusyin dianggap sah bilamana mempelai pria menyerahkan sebentuk cincin atau barang berharga lainnya kepada mempelai wanita sebagai tanda niat untuk menikahinya. Mengenai nissu'in/khuppah, ada macam-macam pendapat mengenai tindakan manakah dalam upacara itu yang menjadikannya sah. Nissu'in meliputi berdiri di bawah naungan tudung nikah - tudung itu sendiri sebut khuppah - dan berduaan di dalam sebuah ruangan (yikhud). Meskipun menurut sejarahnya dua tahap pernikahan ini diselenggarakan secara terpisah dengan jarak waktu yang bisa mencapai setahun lamanya, kini keduanya lazim dijadikan satu rangkaian upacara saja.

Perceraian dalam tradisi Yahudi diterima sebagai fakta nyata. Dalam Ulangan 24 ada anggapan bahwa seorang laki-laki boleh menceraikan istrinya, dan bahwa ia boleh melakukan itu berdasarkan "sesuatu yang tidak senonoh" (Ibrani: ‘aerwat dâbâr) atau "sesuatu yang memalukan" yang ia dapati dari diri istrinya.
Para penafsir Hukum Taurat yang hidup di sekitar zaman Tuhan Yesus tidak saja memikirkan tentang apa arti sesungguhnya dari kalimat ini. Mereka bertanya "Apa yang dimaksudkan dengan 'ketidak-senonohan' atau 'ketidak-patutan' yang membenarkan seorang laki-laki untuk menceraikan istrinya"
Ada dua aliran atau mazhab utama : yang satu menafsirkannya secara ketat, yang lain menafsirkannya lebih luwes. Mazhab pertama, yang mengikuti petunjuk  Rabbi Shammai, seorang rabbi yang tersohor yang hidup sekitar satu generasi sebekum Yesus Kristus berkata bahwa "seorang laki-laki diberi wewenang untuk menceraikan istrinya bila ia mengawininya dengan anggapan bahwa istrinya itu masih gadis, tetapi kemudian ia mendapatkan bahwa istrinya itu sudah tidak gadis".
Memang ada undang-undang yang memuat hal ini dalam Ulangan 22:13-21. Akibatnya bisa sangat serius bagi pengantin-wanita bila bukti yang ada di-interpretasikan bahwa ia pernah melakukan hubungan seks yang haram sebelum menikah, maka inilah pengertian 'sesuatu yang tidak senonoh' itu.
Aliran yang lain mengikuti ajaran ahli sezaman dengan Shammai, yaitu Rabbi Hillel, ia berpendapat bahwa 'sesuatu yang tidak senonoh' bisa mencakup segala sesuatu yang dianggap melawan atau kasar oleh suaminya. Ia bisa tidak lagi dicintai karena berbagai sebab – jika ia menghidangkan makanan yang kurang lezat misalnya, atau bahkan (begitu kata seorang rabbi) karena ia merasa istrinya kurang cantik dibandingkan dengan wanita lain.
Harus ditekankan bahwa para nabi yang memberikan penafsiran-penafsiran 'liberal' ini bukannya ingin mempermudah perceraian. Mereka hanya berminat untuk menyatakan apa yang mereka percayai dari suatu ayat tertentu.

E. PERNIKAHAN MENURUT PERSEPEKTIF ALKITAB


Menurut Alkitab, pernikahan merupakan suatu kovenan dan komiteman yang mengikat, bersifat permanen dan seumur hidup (Matius 19:5-6). Kovenan pernikahan ini dinyatakan dengan gamblang oleh nabi Maleakhi ketika ia menulis “TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu” (Maleakhi 2:14). Kitab Amsal juga berbicara tentang penikahan sebagai suatu “kovenan” atau “perjanjian” satu sama lain. Kitab ini mengutuk seorang yang berzinah “yang meninggalkan teman hidup masa mudanya dan melupakan perjanjian Allahnya” (Amsal 2:17). 
Sebuah kovenan menurut Alkitab, adalah sebuah hubungan yang sakral antara dua pihak, disaksikan oleh Allah, sangat mengikat, dan tidak dapat dibatalkan. Kedua belah pihak bersedia berjanji untuk menjalani kehidupan sesuai dengan butir-butir perjanjian itu. Kata Ibrani yang digunakan untuk “kovenan” adalah “berit” dan kata Yunaninya adalah “diathêkê”. Istilah kovenan yang seperti inilah yang digunakan Alkitab untuk melukiskan sifat hubungan pernikahan. 
Allah juga menghendaki bahwa pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. Dengan demikian, pernikahan itu bersifat permanen. Sifat permanennya suatu pernikahan dengan jelas dan tegas dikatakan Kristus, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6). Jadi Allah dari sejak semula menetapkan bahwa pernikahan sebagai ikatan yang permanen, yang berakhir hanya ketika salah satu pasangannya meninggal (bandingkan Roma 7:1-3; 1 Korintus 7:10-11). Paulus juga menegaskan hal ini ketika ia berkata “Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain” (Roma 7:2-3).


F. ALASAN DIIJINKANNYA PERCERAIAN


Pertanyaan penting untuk dipertimbangkan adalah “Apakah alasan diijinkannya perceraian?” Bukankan Kristus mengatakan bahwa “apa yang telah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia”? Bagaimanakah pandangan Alkitab mengenai alasan diijinkannya perceraian?

Pertama, kita hidup di dunia yang sudah jatuh dalam dosa dan kita lahir dengan sifat dasar yang berdosa. Konsekuensinya, banyak landasan yang tidak Alkitabiah bagi perceraian, bahkan di gereja. Seandainya tidak ada dosa di dunia, tentunya tidak akan ada perceraian. Perceraian adalah hasil dosa. 
Kedua, fakta bahwa Allah “mengijinkan” perceraian dalam Perjanjian Lama tidaklah membuktikan bahwa Dia memerintahkannya (Ulangan 24:1-4). Perceraian itu diijinkan bukan diperintahkan (Matius 19:8). Artinya, perceraian adalah konsensi ilahi bukan konstitusi ilahi. Perceraian merupakan kelonggaran bukan norma atau standar Allah. Kehendak Tuhan untuk pernikahan tidak pernah diubah ataupun dibatalkan. Karena manusia tidak menaati kehendak Tuhan, maka hukum diperkenalkan dan hukum ini tidak membenarkan perceraian atau mengatakan bahwa perceraian kini sudah menjadi kehendak Tuhan, tetapi hukum ini mengaturnya. 
Ketiga, Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa rekonsiliasi adalah pilihan pertama yang disodorkan Tuhan dan bukan perceraian (1 Korintus 7:12-14). Sebaiknya, selama memungkinkan maka perceraian dihindari dan mengusahakan rekonsiliasi bagi pernikahan. Dengan mengikuti contoh nabi Hosea, perlu untuk mengampuni dan menerima kembali pasangan yang telah berzinah (Hosea 3). Walaupun demikian, ada dua konsensi dalam Alkitab dimana perceraian diijinkan, tetapi tidak dianjurkan. Konsensi pertama adalah ketidaksetiaan dalam pernikahan (Matius 5:31-32; 19:9). Konsensi kedua ditemukan dalam kasus dimana orang yang tidak percaya meninggalkan pasangannya yang percaya kepada Yesus (1 Korintus 7:15-16).

Konsensi pertama, perceraian dapat terjadi karena alasan “perzinahan” (Matius 19:9). Frasa “kecuali karena zinah” adalah alasan pertama dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan ijin untuk perceraian. Satu alasan ini perlu ditegaskan karena orang farisi datang kepada Yesus dengan pertanyaan “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” (Matius 19:3). Banyak penafsir Alkitab yang memahami klausa “pengecualian” ini sebagai merujuk pada “perzinahan” yang terjadi pada masa “pertunangan”. Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun mereka masih “bertunangan”. Percabulan dalam masa “pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai. Disini, Matius menggunakan kata Yunani “porneia” atau “percabulan”, yang pada dasarnya berarti ketidaksetiaan secara seksual atau ketidaksetiaan sebelum pernikahan yang mencakup segala macam hubungan seksual yang bertentangan dengan hukum. Jika perzinahan yang dimaksud terjadi setelah pernikahan maka kata Yunani yang biasanya digunakan adalah “moikeia”. Kata “moikeia” adalah perzinahan atau seks haram yang melibatkan seseorang yang sudah menikah. Penting diketahui, hukuman bagi perzinahan setelah pernikahan dalam hukum Taurat Yahudi adalah hukuman mati, sebagaimana yang disebutkan dalam Imamat 20:10 “Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu” (Bandingkan Yohanes 8:5). 
Konsensi kedua, perceraian diijinkan dalam kasus dimana orang yang tidak percaya meninggalkan pasangannya yang percaya kepada Yesus (1 Korintus 7:15-16). Ketika perceraian terjadi karena pasangan yang tidak percaya kepada Kristus meninggalkan pernikahan, pihak yang ditinggalkan atau yang tidak berdosa bebas untuk menikah lagi (1 Korintus 7:15). Tentu saja, dalam hal kematian pasangan, pasangan yang ditinggalkan bebas untuk menikah lagi. Kebiasan orang Yahudi dalam Perjanjian Lama menetapkan bahwa jika ada hak untuk bercerai, ada hak untuk menikah lagi. Pengajaran Paulus dalam Perjanjian Baru tidak bertentangan dengan keyakinan ini. Tetapi sekali lagi, sebagaimana Musa hanya mengijinkan bukan memerintahkan, Paulus juga menyatakan bahwa “Hal ini kukatakan kepadamu sebagai kelonggaran, bukan sebagai perintah” (1 Korintus 7:6). Walau demikian Apa yang yang diinstruksi Paulus dalam 1 Korintus 7:11-16 ini disampaikannya dengan penuh wibawa dan otoritas kerasulannya yang ditetapkannya sebagai peraturan bagi jemaat (baca 1 Korintus 7:17).
Gambaran perceraian karena perzinahan dapat kita lihat dalam hubungan Allah dengan Israel. Ketika Israel mengikuti berhala-berhala, Allah berfirman melalui nabi Yeremia, “oleh karena zinahnya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad itu, dan memberikan kepadanya surat cerai” (Yeremia 3:8). Yesaya juga menulis tentang Allah yang menceraikan Israel karena Israel tidak setia, “Beginilah firman TUHAN: "Di manakah gerangan surat cerai ibumu tanda Aku telah mengusir dia? Atau kepada siapakah di antara penagih hutang-Ku Aku pernah menjual engkau? Sesungguhnya, oleh karena kesalahanmu sendiri kamu terjual dan oleh karena pelanggaranmu sendiri ibumu diusir” (Yesaya 50:11). Betapa besar kasih Tuhan kepada Israel, Dia berulang kali menyodorkan rahmat dan kemurahanNya. Namun, perzinahan dan ketidaksetiaan Israel telah melewati ambang batas. Tuhan berfirman kepada Israel, “Kembalilah, hai Israel, perempuan murtad, demikianlah firman TUHAN. Muka-Ku tidak akan muram terhadap kamu, sebab Aku ini murah hati, demikianlah firman TUHAN, tidak akan murka untuk selama-lamanya. Hanya akuilah kesalahanmu, bahwa engkau telah mendurhaka terhadap TUHAN, Allahmu, telah melampiaskan cinta berahimu kepada orang-orang asing di bawah setiap pohon yang rimbun, dan tidak mendengarkan suara-Ku, demikianlah firman TUHAN." Kembalilah, hai anak-anak yang murtad, demikianlah firman TUHAN, karena Aku telah menjadi tuan atas kamu! Aku akan mengambil kamu, seorang dari setiap kota dan dua orang dari setiap keluarga, dan akan membawa kamu ke Sion” (Yeremia 3:12-14).
Kadang-kadang hal yang dilupakan dalam diskusi mengenai klausa “pengecualian” adalah kenyataan bahwa apapun jenis penyelewengan dalam pernikahan, itu hanyalah merupakan ijin untuk bercerai dan bukan keharusan untuk bercerai. Bahkan ketika terjadi perzinahan, dengan anugerah Tuhan, pasangan yang satu dapat mengampuni dan membangun kembali pernikahan mereka. Dengan mengikuti contoh nabi Hosea, perlu untuk mengampuni dan menerima kembali pasangan yang telah berzinah (Hosea 3). Tuhan telah terlebih dahulu mengampuni banyak dosa-dosa kita. Kita tentu dapat mengikuti teladanNya dan mengampuni dosa perzinahan (Efesus 4:32). Namun, dalam banyak kasus, pasangan yang bersalah tidak bertobat dan terus hidup dalam percabulan. Di sinilah kemungkinanan Matius 19:9 dapat diterapkan. Demikian pula banyak yang terlalu cepat menikah kembali setelah bercerai padahal Tuhan mungkin menghendaki mereka untuk tetap melajang. Kadang-kadang Tuhan memanggil orang untuk melajang supaya perhatian mereka tidak terbagi-bagi (1 Korintus 7:32-35).
 

G. MEMAHAMI MAKSUD DARI TEKS ULANGAN 24:1-4


Teks dalam Ulangan 24:1-4 penting untuk dipahami, sebab bagian inilah yang menjelaskan alasan dan prosedur perceraian. Teks itu berbunyi demikian, “Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu”. Berdasarkan teks ini ada beberapa hal yang perlu diperjelas, yaitu:

Pertama, yang wajib dalam hukum ini bukanlah perceraian melainkan proses hukumnya jika terpaksa harus bercerai. Proses hukum itu mencakup empat unsur, yaitu: (1) Adanya alasan yang serius untuk bercerai dan bukan sembarang alasan; (2) sebuah dokumen perceraian harus diberikan kepada perempuan untuk perlindungannya sesuah ia diceraikan; (3) dokumen itu ditulis dengan melibatkan seorang pejabat resmi yang memiliki hak untuk menentukan apakah alasan perceraian itu diterima atau tidak; (4) setelah memberikan dokumen cerai itu, pihak laki-laki secara resmi mengusir sang istri dari rumahnya. 
Kedua, peraturan dalam teks ini diberikan bukan untuk menyetujui perceraian tetapi bertujuan untuk melarang laki-laki mengawini ulang mantan istrinya, kalau ia sudah pernah menceraikannya, dan mantan istrinya itu sudah pernah menikah dengan laki-laki lain setelah ia diceraikan. Perhatikanlah klausa “jika...” dalam ayat 1-3 tidak lebih dari sekedar anak kalimat yang disebut klausa syarat. Sedangkan klausa akibatnya baru muncul dalam ayat 4 dengan klausa “maka...”. 
Ketiga, alasan perceraian ini adalah apabila didapat hal-hal yang tidak senonoh. Kata Ibrani “tidak senonoh” dalam ulangan 24:1, adalah “erwath dabar”, sebuah frase yang secara harafiah berarti “ketelanjangan suatu benda”. Kata ini dapat diartikan sebagai “keadaan telanjang atau pamer aurat yang dikaitkan dengan perilaku yang tidak suci”, tetapi bukan perzinahan setelah pernikahan. Karena hukuman bagi perzinahan setelah pernikahan dalam hukum Taurat adalah hukuman mati, sebagaimana yang disebutkan dalam Imamat 20:10 “Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu”. (Bandingkan Yohanes 8:5). 
Keempat, surat perceraian ini wajib diberikan untuk melindungi hak-hak perempuan (istri), agar ia jangan diusir begitu saja atau diperlakukan seenaknya. Karena itu setiap penyalahgunaan ijin tersebut dicegah dengan cara membatasinya dengan berbagai alasan teknis dan pembatsan lainnya. Tampaknya ada kesalahpahaman diantara pria Yahudi dalam menafsirkan tujuan dari ijin perceraian dengan memberikan surat cerai tersebut. Jadi, pengaturan dalam ayat ini justru digunakan oleh para lelaki untuk mengajukan perceraian terhadap istri mereka. Suatu interpretasi yang keliru, sehingga tepat jika Yesus menuding keras dengan mengatakannya “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Matius 19:8). 
Dengan demikian, perceraian sebagaimana diijinkan Musa dalam ulangan 24:1-4 (bandingkan Imamat 27:7-14; 22:13; Bilangan 30:9) adalah akibat dari kekerasan hati orang Israel (Matius 19:8; Markus 10:5). Tetapi, ketidaknormalan situasi ini yang ditolerir dalam Perjanjian Lama melalui hukum Musa dibatalkan oleh Tuhan Yesus kita dengan menempatkan kembali ideal Allah, yaitu ketetapanNya semula mengenai pernikahan, “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:5-6; dan Markus 10:6-9; Kejadian 2:23-24). 


H. MENIKAH LAGI SETELAH PERCERAIAN 


Tuhan menciptakan pernikahan! Jadi, ketika dua orang disatukan, baik orang Kristen atau bukan, penyatuan ini terjadi dihadapan Tuhan. Ketika orang non Kristen menikah kemudian bercerai, mereka melanggar firman Tuhan seperti pelanggaran yang dilakukan orang Kristen. Mengapa? Karena pernikahan adalah satu-satunya lembaga sosial yang ditetapkan Allah sebelum kejatuhan manusia dalam dosa (Kejadian 2:24; Banding Kejadian 1:28). Ketetapan Tuhan ini tidak pernah berubah dan ini berlaku “sejak semula” bagi semua orang, bukan hanya bagi orang-orang Kristen saja. Matius mencatat perkataan Kristus demikian, “Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula (ap’arches) menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?” (Matius 19:4). Kata Yunani “ap’arches” atau “sejak semula” yang disebutkan Yesus dalam Matius 19:4, pastilah merujuk pada Kejadian Pasal 2, karena kalimat selanjutnya “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging”, yang diucapkan Yesus dalam ayat 5 adalah kutipan dari Kejadian 2:24.
Allah telah menetapkan pernikahan dari sejak semula, baik untuk orang-orang Kristen maupun untuk orang-orang bukan Kristen. Dan Allah adalah saksi dari seluruh pernikahan, baik diundang maupun tidak. Meskipun bentuk dan tatacara bervariasi dalam setiap budaya dan setiap generasi tetapi esensinya tetap sama dari “sejak semula” bahwa pernikahan merupakan satu peristiwa sakral tidak peduli pasangan tersebut mengakuinya ataupun tidak. Karena itu pernikahan wajib dihormati oleh semua orang (Ibrani 13:4).
Jika orang non Kristen bercerai kemudian menikah lagi dalam kondisi sudah menjadi Kristen, ia masih bertanggung jawab atas segala konsekuensi pernikahan pertamanya. Menurut 2 Korintus 5:17, Kita tidak boleh lagi hidup dalam penghukuman atas dosa (hidup) kita terdahulu, tetapi ayat ini, yang sering dikutip oleh orang yang bercerai, sama sekali tidak memberikan orang yang bersangkutan izin untuk menikah lagi. Makna yang dikandung disini adalah bahwa ketika orang yang sudah melakukan perceraian menjadi manusia baru melalui iman yang dimilikinya, ia tetap bertanggung jawa atas kehidupan dosanya “yang terdahulu” walaupun ia sudah diampuni.

Kapan menikah lagi diijinkan setelah perceraian?
Pertama, sederhananya, ketika ada perceraian yang tidak Alkitabiah, menikah lagi dilarang. Konsekuensinya, berdasarkan pemahaman terhadap firman Tuhan jika ada pihak yang melakukan perzinahan dan pernikahan berakhir dengan perceraian, pelaku perzinahan, sebagai pihak yang berdosa, harus memilih untuk tetap melajang (lihat Matius 5:31-32), sebab jika tidak, ia hidup dalam dosa. Penting untuk diperhatikan bahwa hanya pasangan yang tidak bersalah yang diizinkan untuk menikah kembali. Meskipun tidak disebutkan dalam ayat tersebut, izin untuk menikah kembali setelah perceraian adalah kemurahan Tuhan kepada pasangan yang tidak bersalah, bukan kepada pasangan yang berbuat zinah. Paulus menegaskan hal ini dalam 1 Korintus 7:10-11, dimana Paulus mengutip ajaran Yesus. Jika orang memilih untuk meninggalkan pernikahan tanpa landasan Alkitabiah untuk bercerai, dan hal itu bertentangan dengan keinginan pasangannya, ia sedang memilih untuk melajang. 
Kedua, pernikahan kembali juga diijinkan ketika perceraian terjadi karena pasangan yang tidak percaya kepada Kristus meninggalkan pernikahan, pihak yang ditinggalkan atau yang tidak berdosa bebas untuk menikah lagi. Paulus dalam 1 Korintus 7:15 mengatakan, “Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera”. Memang konteks ayat ini tidak menyinggung soal pernikahan kembali dan hanya mengatakan bahwa orang percaya tidak terikat dalam pernikahan kalau pasangan yang belum percaya mau bercerai, tetapi kebiasaan orang Yahudi dalam Perjanjian Lama menetapkan bahwa jika ada hak untuk bercerai, ada hak untuk menikah lagi. Pengajaran Paulus dalam Perjanjian Baru tidak bertentangan dengan keyakinan ini. 
Ketiga, tentu saja, dalam hal kematian pasangan, pasangan yang ditinggalkan bebas untuk menikah lagi. Paulus mengatakan, “Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain” (Roma 7:2-3). Hal yang sama disampaikan Paulus kepada jemaat di Korintus, “Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya” (1 Korintus 7:39)
Menikah kembali setelah bercerai mungkin merupakan pilihan dalam keadaan-keadaan tertentu, namun tidak selalu merupakan satu-satunya pilihan. Adalah menyedihkan bahwa tingkat perceraian di kalangan orang-orang yang mengaku Kristen hampir sama tingginya dengan orang-orang yang tidak percaya. Alkitab sangat jelas bahwa Allah membenci perceraian (Maleakhi 2:16) dan bahwa pengampunan dan rekonsiliasi seharusnya menjadi tanda-tanda kehidupan orang percaya (Lukas 11:4; Efesus 4:32). 


I. TANTANGAN IMAN KRISTEN


Tantangan yang dimaksudkan disini lebih dimuarakan pada pernyataan Tuhan Yesus, dan Rasul Paulus pun pernah mengungkapkan permasalahan perceraian didalam dua kebenaran Firman. Kalau tidak hati-hati, itu dapat disalah tafsirkan. Dua kebenaran Firman Tuhan itu adalah:
Matius 19:9:“Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah”.Penekanannya pada: ‘zinah’. Ini seolah-olah dapat menjadi alasan pembenaran dalam perceraian.
I Korintus 7:15:“Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera”.Penekananya pada kondisi ‘tidak seiman’, maka perceraian dapat dikabulkan.
Dari kedua pernyataan ini, terlihat seolah-olah perceraian didalam Kekristenan itu diizinkan dengan dua alasan pasti, yaitu:
Karena perzinahan.Perhatikan istilah “kecuali zinah” (Excep for marital unfaithfulness- kecuali ketidaksetiaan didalam perkawinan). Ketidaksetiaan disini menunjuk kepada perzinahan (penyelewengan dengan orang lain). Penyelewengan inilah yang ‘membuka’ ikatan pernikahan itu. Membuka ikatan, karena sudah menyatukan dengan tubuh pribadi lain yang bukan pasangannya. Dasarnya : I Korintus 6:16,“Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikian kata nas: Keduanya akan menjadi satu daging.”Perzinahan menjadi alasan diizinkannya perceraian, karena adanya kesatuan dengan ‘daging yang baru’, sedangkan ‘daging yang lama’ ditinggalkan! Karena itulah perzinahan dikategorikan tindakan percabulan! Kalau sudah percabulan, itu berarti sudah tidak ada kasih dan setia. Layakkah pernikahan dipertahankan ?
Karena tidak seiman.Perhatikan istilah “orang yang tidak beriman” (The unbeliever leave- orang tidak percaya meninggalkan). Kalau orang yang tidak percaya meninggalkan. cerai boleh/diterima. Alasannya, tidak ada kesatuan/kecocokan dalam prinsip iman.
Dasarnya didalam II Korintus 6:13-16a:“Maka sekarang, supaya timbal balik – aku berkata seperti kepada anak-anakku -:Bukalah hati kamu selebar-lebarnya! Jangan kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya.Sebab persamaan apakah yang terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan?Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang yang tidak percaya? Apakah hubungan antara bait Allah dengan berhala?”Izin perceraian itu diberikan karena adanya perbedaan mendasar dan karakter antara iman Kristen dengan yang non. Kedua kondisi ini berbeda, bahkan cenderung berlawanan, tidak mungkin disatukan. Dari pada banyak menimbulkan problem, masalah, baik didalam teologi, cara perpikir, maupun tingkah-laku, lebih baik bercerailah!
Bagaimana sesungguhnya memberikan jawaban terhadap kedua alasan di atas yang digunakan untuk niat bercerai? Jawaban yang pasti: tetap tidak diizinkan bercerai dalam bentuk alasan apapun.
Mengapa?
Kalau diperhatikan, konteks Matius, khususnya Matius 19:8, mengungkapkan alasan utama Tuhan Yesus mengatakan demikian, yaitu karena ‘ketegaran hati manusia’ – pikiran dan hati manusia yang membatu, menjadi keras dan mau menang sendiri.Sesungguhnya, sejak dari awal Allah tidaklah menghendaki hal ini.Sekali lagi, Allah tidaklah menghendaki hal ini! Kalau manusia keras kepala, membatu dan tetap menuntut untuk bercerai, maka Tuhan Yesus memberikan prasyaratnya, yaitu karena alasan zinah, dan itupun konsekwensinya pasangan itu tidak boleh menikah lagi. Kalau sampai menikah lagi, maka dia dikategorikan berzinah.Berzinah,karena hidup dengan yang bukan istri/suaminya yang sah.Tidak sah dihadapanTuhan dan Gereja. Sekalipun mungkin pemerintah mengizinkan perceraian.
Konsekwensi yang harus diterima adalah bahwa sampai kapanpun iman Kristen, dalam hal ini Gereja, tidak akan memberikan peneguhan kedua kalinya didalam pernikahan! Kalau tetap dipaksakan, itu biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh yang bersangkutan diluar sepengetahuan Gereja. Kalau ada lembaga Gereja tertentu mengizinkan pernikahan kembali, itu adalah dalam bentuk kompromi yang gereja lakukan untuk menolong orang yang bercerai itu tidak melakukan tindak perzinahan yang berlanjut. Artinya, dari pada melakukan dosa terus-menerus, lebih baik disahkan saja, asal dengan catatan: ada surat resmi perceraian yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah. Dalam hal ini, Gereja telah melakukan kekeliruan, karena otoritasnya sudah tergeser, bukannya berlindung pada Allah, tetapi berlindung dibalik ‘jubah’ pemerintah. Inilah sebetulnya bentuk kompromi yang sangat mengerikan, yang perlu diwaspadai oleh setiap orang.
Lebih lanjut, didalam kasus perzinahan, kadangkala ada ‘tiga wajah’ muncul didalam kasus perceraian, yaitu:
a.       Tidak boleh cerai dan tetap dengan pasangannya yang semula.
b.      Tidak boleh cerai (tidak diizinkan oleh Gereja karena Gereja tidak mengeluarkan piagam cerai), tetapi kalau ada surat cerai dari pemerintah,‘diizinkan’ menikah lagi dengan catatan: ‘silent wedding’ (nikah diam-diam).
c.       Boleh cerai (resmi dari pemerintah) dan diteguhkan kedua kali didalam pernikahan oleh pihak Gereja.
Sebetulnya perceraian itu tidak akan pernah terjadi kalau manusia tidak menjadi keras kepala. Bagi yang melakukan perzinahan, tidak keras kepala dalam pengertian mau meninggalkan dosa perzinahan dan bertobat. Dan bagi pasangan yang disakiti, tidak keras kepala dalam pengertian mau memberikan pengampunan dan menerima kembali pasangan dengan apa adanya berdasarkan kasih Allah. Maka pemulihan hubungan suami istri didapatkan kembali dan perceraian dapat dihindari.
Jalan kasih inilah yang seharusnya menjadi ‘jalan pertama’ yang harus ditempuh untuk menyelesaikan persoalan perzinahan dalam keluarga. ‘Jalan kedua’ adalah keputusan ‘pisah’ (split), yaitu: meskipun dihadapan Tuhan masih berstatus ‘suami-istri’, tetapi karena dosa perzinahan, pasangan untuk sementara waktu berpisah, mengambil jalannya masing-masing dengan harapan keterpisahan itu dapat membuat kedua belah pihak melakukan ‘evaluasi’ untuk mencari dan menemukan sumber permasalahan dan dengan kerendahan hati mencari solusi untuk rujuk kembali. Tetapi jika ternyata tetap tidak bisa bersatu, maka kedua belah pihak haruslah didalam kondisi ‘selibat’ – tidak menikah lagi! Inilah yang menjadi kesimpulan murid-murid pada saat menyimpulkan pengajaran Tuhan Yesus didalam Matius 19:10,“Jika demikian halnya hubungan antara suami-istri, lebih baik jangan kawin lagi.”.Penekannya: jangan kawin lagi! ‘Jalan ketiga’adalah seperti yang Tuhan Yesus katakan, yaitu: “harus memikul salib” (Luk 14:27). Artinya, ada harga yang harus dibayar dalam menjalani pernikahan Kristen! Dalam pengertian, pada saat mengungkapkan “janji pernikahan” dikatakan: “... sebagai suami/istri yang sah dihadapan Tuhan dan jemaat-Nya, saya berjanji akan tetap mengasihi dan melayani dia dengan setia, baik pada waktu suka maupun duka, kelimpahan maupun kekurangan, sehat maupun sakit, dan tetap menuntut hidup suci dengan suami/istri saya dalam pemeliharaan-Nya guna menyatakan kesetiaan dan iman saya dalam segala hal kepadanya sesuai dengan Injil Kristus Tuhan”.
Kalau diperhatikan janji pernikahan ini, karakter/sifatnya adalah positif, yaitu: komitment total(total commitment).Jelas bukan kondisi bersyarat(unconditional),karena ikatannya sampai maut memisahkan. Artinya, pemisahan itu baru sungguh terjadi pada saat kematian. Diluar itu tidak ada pemisahan (perceraian). Pada saat hidup, keluarga kita ada didalam kesukaan, kelimpahan dan sehat, kasih menjadi landasan untuk setia dan melayani didalam kondisi baik dan solit. Namun jika yang terjadi sebaliknya, ada kedukaan, kekurangan dan sakit penyakit, maka kasih yang menjadi landasan mengalami pengujian, apakah masih ada kesetiaan dan pelayanan, ataukah mulai memudar? Seharusnya, teruji kemurniannya (tidak meninggalkan/cerai), karena ada “salib yang harus dipikul” dan yang terpenting, ada yang disebut: “kekuatan cinta ilahi” yang dahsyat, yang dapat mengubah segala kondisi menjadi pulih dan mapan kembali (baca I Kor 13:1-13).
Tiga ‘jalan’ inilah yang seharusnya lebih dipilih. Tapi kalau tetap tidak mau, maka urusan perceraian itu adalah menjadi urusan dan tanggung jawab yang bersangkutan dan tidak boleh dibebankan kepada Gereja, apalagi kepada Tuhan, dalam pengertian Gereja berhak menolak perceraian dan tidak akan mengizinkan pernikahan yang kedua, dan yang terpenting, dihadapan Tuhan itu perbuatan dosa! Dosa, karena berzinah dan menghancurkan pernikahan yang dibangun oleh Tuhan.
Demikian juga kalau diperhatikan konteks I Korintus 7, khususnya ayat 12-14, terungkap:“Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristrikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang istri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh istrinya dan istrinya yang tidak seiman itu dikuduskan oleh suaminya.Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak-anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus.”
Di sini Paulus membicarakan tentang pasangan yang sudah menikah sebelum mereka percaya kepada Kristus, dan kemudian salah satunya menjadi percaya dan pasangannya belum.Rasul Paulus mengharapkan mereka yang sudah percaya tetap setia pada pasangannya yang belum percaya, tidak usah menuntut perceraian. Tujuannya: supaya mereka yang sudah percaya itu dapat menguduskan (menyelamatkan) pasangannya yang belum percaya.
Tujuan untuk tetap setia dan tidak menceraikan pasangannya yang belum percaya didasarkan pada dua kebenaran teologis yang perlu dipahami oleh setiap orang percaya, khususnya suami atau istri yang pasangnya belum percaya, yaitu:
a. Ada anugrah Allah yang tidak hanya menyelamatkan suami atau istri yang percaya, tetapi juga seluruh anggota keluarganya yang belum percaya. Dasar imannya adalah:“Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu”(Kis 16:31).
b. Ada anugrah Allah yang menempatkan anak-anak dari suami atau istri yang percaya tetapi pasangannya tidak percaya dengan ‘sebutan baru’, yaitu: “anak-anak kudus” dan bukan “anak-anak cemar”. Mengapa? Alasannya sederhana. Sebelum salah satu dari mereka percaya kepada Kristus, mereka adalah orang berdosa dan keturunan mereka adalah anak-anak cemar. Tapi karena anugrah Allah, ketika salah satu dari pasangan percaya kepada Tuhan, maka kepercayaan (iman) yang dimiliki ini menjadi dasar pengudusan yang akan diterima. Dalam pengertian, menjadi keturunan atau anak orang percaya.
Tapi kalau sebaliknya, pasangan yang tidak percaya itu meningggalkan (menceraikan) pasangannya yang percaya, maka Rasul Paulus mengizinkan perceraian, dan pasangan yang percaya yang ditinggalkan (diceraikan) tidak terikat lagi pada pernikahan sebelumnya, karena pernikahan mereka tidaklah didalam Tuhan sehingga tidak ada tuntutan seperti yang diminta didalam pemberkatan nikah Kristen.
Namun perlu diperhatikan, pada saat Rasul Paulus mengatakan hal ini, dia tetap menghendaki otoritas Tuhan lebih diutamakan, yaitu tidak boleh bercerai. Bahkan Rasul Paulus didalam ayat 15b mengatakan:“Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera”. Artinya, pengutamaan menjadi pasangan yang percaya terhadap pasangannya yang tidak percaya adalah untuk menghadirkan damai sejahtera, bukan pertentangan dan perbedaan yang membawa perceraian. Percayalah bahwa perceraian bukan jalan yang baik, melainkan jalan yang terjal dan berliku, yang ujungnya membawa kehancuran. Karena itu, perceraian karena beda iman tetap tidak diizinkan.


J. KONKLUSI


Perceraian dalam ideal Allah tidak pernah dibenarkan, bahkan sekalipun oleh karena perzinahan. Perzinahan adalah dosa dan Allah tidak menyetujui dosa maupun terputusnya pernikahan. Apa yang disatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia (matius 19:6). Pengampunan melalui pengakuan dosa membatalkan status keadaan yang berdosa dari orang yang diceraikan (Bandingkan Yeremia 1,14). Satu-satunya alasan mereka masih hidup dalam dosa setelah perceraian adalah bahwa perceraian itu merupakan suatu dosa. Dan selama mereka tidak mengakui dosa perceraian, mereka masih hidup dalam dosa. Tetapi jika mereka mengakui dosa mereka, Allah akan mengampuni seperti dosa yang lainnya (1 Yohenes 1:9). 
Sekalipun perceraian tidak pernah dibenarkan, kadang-kadang hal itu diijinkan dan selalu ada pengampunan untuk itu. Karena itu, mereka yang mengakui dosa perceraian dan bertanggung jawab untuk itu, harus diperbolehkan untuk menikah kembali. Tetapi pernikahan kembali mereka lakukan haruslah untuk seumur hidup. Jika mereka gagal lagi, tidaklah bijaksana memperbolehkan mereka untuk terus mengulangi kesalahan ini. Hanya mereka yang condong untuk memelihara komitmen seumur hidup yang boleh menikah dan tidak merencanakan pernikahan kembali. 
Pernikahan adalah lembaga yang sakral dan tidak boleh dicemarkan oleh perceraian, kususnya oleh perceraian yang terjadi berulang kali (bandingkan Ibrani 13:4). Dan orang Kristen harus melakukan segala sesuatu dengan sekuat tenaga untuk mengangungkan standar Allah mengenai pernikahan monogami seumur hidup, karena ini adalah idealnya Allah (Matius 19:5-6).
Akhirnya, orang percaya yang bercerai dan atau menikah kembali jangan merasa kurang dikasihi oleh Tuhan bahkan sekalipun perceraian dan pernikahan kembali tidak tercakup dalam kemungkinan klausa pengecualian dari Matius 19:9. Tuhan sering kali menggunakan bahwa ketidaktaatan orang-orang Kristen untuk mencapai hal-hal yang baik.
            Pada prinsipnya, Yesus Kristus tidak setuju adanya perceraian. Allah mengatakan, “Aku membenci perceraian, karena Tuhan menjadi saksi perkawinan mereka dimasa mudanya” (Maleakhi 2:14,16). Allah sejak awal tidak merencanakan pasangan suami istri untuk bercerai. Allah mencetuskan adanya program pernikahan demi untuk membahagiakan manusia. Sebab itu Allah merumuskan hukum atau cara untuk mencapai pernikahan yang harmonis dan berbahagia. Masalahnya, apakah setiap pasangan suami-istri mau menikmati kabahagiaan itu?
Pepatah mengatakan: “Menjaga lebih baik dari pada mengobati”. Artinya, sebelum terjadi ‘sesuatu’ didalam kehidupan suami-istri yang melahirkan suatu problematika yang pelik, baiknya suami-istri lebih memberikan perhatian yang serius didalam membangun relasi antara mereka berdua. Relasi yang lebih menekankan pada dua halyang dikatakan di dalam Amsal 3:3-4,“Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau. Kalungkanlah pada lehermu, tuliskanlah pada loh hatimu, maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia.”
Kunci untuk mengokohkan hubungan suami istri supaya terhindar dari perceraian dalam bentuk dan alasan apapun adalah mengalungkan: (1) kasih dan (2) setia, didalam hati.
Yang pasti, perceraian itu bukanlah hasil keputusan semalam, tetapi hasil dari kumulatif bertahun-tahun yang tidak terselesaikan dengan baik sehingga melahirkan ‘bom waktu’ dalam hubungan suami-istri,‘bom’ yang menghancurkan dan memporak-porandakan, baik bagi suami-istri itu sendiri, bagi anak-anak, maupun keluarga masing-masing.
Selain itu, perceraian pada umumnya terjadi dikarenakan suami-istri itu sendiri. Artinya, kedua-duanya adalah ‘aktor intelektualnya’ yang menciptakan dan menyebabkan kondisi chaos (kacau balau) ini. Rumusannya sangatlah jelas, bahwa mereka berdualah yang paling bertangung jawab didalam kegagalan ini. Yang pasti, Tuhan akan menuntut pertangungjawaban dari mereka berdua.
Perceraian itu begitu mahal ongkosnya, maka perlu ada komitmen yang tinggi dan serius bagi calon-calon suami-istri sebelum mereka menjadi suami-istri yang sah dihadapan Tuhan dan Jemaat untuk melihat dan mengimani bahwa apa yang sudah disatukan oleh Allah dalam kehidupan mereka tidak boleh dirusak, apalagi sampai diceraikan oleh manusia karena mereka berdua akan berhadapan dengan Allah sendiri.


  DAFTAR PUSTAKA 


Burke, Dale., 2000. Dua Perbedaan dalam Satu Tujuan. Terjemahan Indonesia (2007), Penerbit Metanoia Publising : Jakarta.

Clinton, Tim., 2010. Sex and Relationship. Baker Book, Grand Rapids. Terjemahan Indonesia (2012), Penerbit ANDI : Yogyakarta. 

Douglas, J.D., ed, 1988. The New Bible Dictionary. Universities and Colleges Christian Fellowship, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, 2 Jilid, diterjemahkan (1993), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Drewes, B.F, Wilfrid Haubech & Heinrich Vin Siebenthal., 2008. Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Jilid 1 & 2. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.

Ferguson, B. Sinclair, David F. Wright, J.I. Packer., 1988. New Dictionary Of Theology. Inter-Varsity Press, Leicester. Edisi Indonesia, jilid 1, diterjemahkan (2008), Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Geisler, Norman L., 2000. Christian Ethics: Options and Issues. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kristen: Pilihan dan Isu, Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Jakarta. 

Gutrie, Donald., ed, 1976. The New Bible Commentary. Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Masa Kini, Jilid 3, diterjemahkan (1981), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Gutrie, Donald., 1981 New Tastament Theology, . Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Teologi Perjanjian Baru, 3 Jilid, diterjemahkan (1991), BPK Gunung Mulia : Jakarta.

Ladd, George Eldon., 1974. A Theology of the New Tastament, Grand Rapids. Edisi Indonesia dengan Judul Teologi Perjanjian Baru. 2 Jilid, diterjemahkan (1999), Penerbit Kalam Hidup : Bandung. 
Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung

Morris, Leon., 2006. New Testamant Theology. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Newman, Barclay M., 1993. Kamus Yunani – Indonesia Untuk Perjanjian Baru, terjemahkan, BPK Gunung Mulia : Jakarta.

Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Wycliffe Perjanjian Baru, volume 3, diterjemahkan (2004), Penerbit Gandum Mas : Malang.

Piper, John & Justin Taylor, ed., 2005. Kingdom Sex and the Supremacy of Christ. Edisi Indonesia dengan judul Seks dan Supremasi Kristus, Terjemahan (2011), Penerbit Momentum : Jakarta. 

Prokopchak, Stave and Mary., 2009. Called Together. Destiny image, USA,. Terjemahan Indonesia (2011), Penerbit ANDI : Yogyakarta. 

Schafer, Ruth., 2004. Belajar Bahasa Yunani Koine: Panduan Memahami dan Menerjemahkan Teks Perjanjian Baru. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta. 

Sosipater, Karel., 2010. Etika Perjanjian Lama, Penerbit Suara Harapan Bangsa: Jakarta.
_____________., 2010. Etika Perjanjian Baru, Penerbit Suara Harapan Bangsa: Jakarta.

Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. diterjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. 

Stassen, Glen & David Gushee., 2003. Kingdom Ethics: Following Jesus in Contemporary Contex. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini, Terjemahan (2008), Penerbit Momentum : Jakarta. 

Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terj, Penerbit Gandum Mas : Malang. 

Stott, John., 1984. Issues Facing Chistianis Today. Edisi Indonesia dengan judul Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani. Terjemahan (1996), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.

Susanto, Hasan., 2003.Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid 1 dan 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. 

Tong. Stephen., 1991. Keluarga Bahagia. Cetakan kesebelas (2010), Penerbit Momentum : Jakarta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STAK AGJ membuka pendaftaran Mahasiswa Baru tahun akademik 2022/2023

STAK AGJ membuka pendaftaran Mahasiswa Baru 2022/2023: Daftar Online: https://bit.ly/PPMB_STAKAGJ2022 Daftar Offline : Jl. Jl. Youmakhe - Pa...